Thomas Trowt, Misionaris Inggris ke Jawa, 1816

Pada tahun 1814, pusat misi Baptis di India mengirim lagi dua orang misionaris untuk membantu Robinson. Mereka adalah J. Reily dan William Milne. Pada Mei 1815, J.C. Supper, G.Bruckner, dan J. Kam, dikirim oleh London Missionary Society bekerja sama dengan Netherlands Missionary Society. Dua bulan kemudian, Thomas Trowt, seorang penginjil lain dari misi Baptis pun menyusul. Trowt langsung dikirim dari Inggris untuk bekerja di Jawa. Sejak kedatangan Robinson pada 1813 sampai akhir masa pemerintahan Inggris di Jawa pada 1816, jumlah misionaris di Jawa berjumlah 10 orang.

Sebanyak dua orang dari sepuluh misionaris tersebut hanya berada di Jawa selama waktu yang singkat: Milne segera pergi ke Cina dan Joseph Kam melanjutkan perjalanannya ke Ambon. Walaupun mereka hanya tinggal dalam waktu singkat, buah yang mereka hasilkan sangatlah mengesankan. Milne berhasil membukakan kesadaran terhadap kelompok orang Cina, yang sampai saat itu belum mendapatkan perhatian apa-apa. Juga, kehadiran Joseph Kam di Surabaya telah meletakkan sebuah fondasi yang kuat untuk jemaat Kristen di sana. Kelompok J. Emde di Surabaya tidak dapat digambarkan tanpa pengaruh Kam. Kam turut serta dalam mempercepat proses penginjilan di Surabaya.

Para donatur untuk para pelopor Barat mengalami masalah dengan kepribadian orang Jawa, yang mereka gumulkan untuk mereka pahami. A. Kruyt, yang dari masa mudanya menemani ayahnya, J. Kruyt, dalam pelayanannya sebagai misionaris di Jawa Timur menyimpulkan bahwa, dalam kepribadian orang Jawa terdapat sesuatu yang tersembunyi seperti sebuah teka-teki yang telah menjadi sebuah rahasia selama berabad-abad. Karenanya, kaum misionaris sering merasa tertipu atau salah mengerti. Mereka sering mengira bahwa orang Jawa ingin menjadi percaya dan menjadi seorang Kristen, padahal dalam kenyataannya tidak. Hal yang sama dialami oleh Bruckner. Setelah 8 tahun berada di Semarang, ia merasa bahwa pekerjaannya tidak menghasilkan apa-apa, sehingga ia memasuki daerah pedalaman dan tinggal di Salatiga. Di sana, ia mendekati penduduk desa dan mereka tampaknya menerima apa yang disampaikannya. Meskipun mereka mengiyakan apa yang ia katakan, tetapi pada akhirnya Bruckner pun menyadari bahwa sikap mereka itu tidak dapat ditafsirkan sebagai penerimaan terhadap agama yang dibawanya. Pengalaman ini juga dialami oleh Robinson dan Supper di Batavia. Robinson dengan antusias menulis bahwa orang Muslim di Batavia tidak sefanatik orang Muslim yang ditemuinya di India. Namun demikian, dari orang-orang yang mendengarkan dengan penuh perhatian dan tanpa penolakan atau penentangan itu, tak satu pun dari mereka yang ingin menjadi orang Kristen.

Di sisi lain, antusiasme mereka kandas pada kesulitan-kesulitan yang mendasar, seperti masalah pengetahuan dan penguasaan Bahasa Jawa. Robinson, penginjil pertama yang tiba di Jawa, gagal mempelajari Bahasa Jawa dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa tersebut. Hal itu juga dialami oleh Thomas Trowt, yang sangat berbakat dalam bahasa dan kemampuan beradaptasi. Setelah bekerja selama 2 tahun di Semarang, di tempat dia menikmati sebuah hubungan yang baik dengan seorang pegawai Jawa, ia mampu melengkapi sepertiga bagian dari sebuah kamus Jawa-Inggris, sebelum ia mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Trowt menderita disentri dan demam, dan selama 2 tahun ia terus menderita berbagai penyakit serius. Ia meninggal pada 25 Oktober 1816. Sebelum kematiannya, Trowt bisa berbahasa Melayu dengan lancar dan mulai menguasai Bahasa Jawa. Andai Trowt tidak meninggal terlebih dulu, misi Baptis di Semarang mungkin telah meninggalkan sebuah peninggalan yang sangat berharga.

Dalam sebuah periode singkat tersebut, Trowt telah membuka sebuah sekolah untuk penduduk setempat dan telah mengembangkan
sebuah hubungan yang sangat dekat dengan Bupati Sura Adimenggala yang sangat terbuka terhadap pendidikan Barat. Adimenggala mengirim kedua putranya, Saleh dan Shukur, untuk belajar dengan Marshman dari Serampore, dari tahun 1812 sampai 1814. Sekolah ini disponsori oleh misi Baptis. Trowt berdiskusi dengan Adimenggala, berencana untuk mendirikan sebuah sekolah, menerbitkan
berbagai buku dalam Bahasa Jawa, dan mendirikan sebuah sekolah untuk orang Jawa di Semarang. Menurut Trowt, Adimenggala sangat mendukung rencananya ini.

Dalam hubungan ini, baik Trowt maupun Adimenggala mendapatkan keuntungan. Dalam diskusi-diskusi mereka, tidak hanya ketertarikan
Adimenggala dalam hal pendidikan saja yang didiskusikan, namun perhatian terhadap pemikiran keagamaan Trowt juga diperhatikan. Adimenggala menyatakan kesiapannya untuk mendukung tugas-tugas misi Trowt. Ia juga menanyakan hal-hal tentang agama pada Trowt. Dua hal yang sangat penting bagi Adimenggala: Mengapa ada banyak agama di dunia? Bagaimana kita bisa menentukan bahwa suatu agama adalah yang terbaik di antara agama-agama lain yang ada? Trowt menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan sebuah cara yang tidak menyerang agama yang dianut oleh Adimenggala. Ia tidak menggambarkan kesimpulan dari dialog tersebut. Trowt hanya ingin Adimenggala mengenal kekristenan dan hubungan baik dengannya akan terus berlanjut.

Berbagai macam keadaan menghalangi karya misi di Jawa agar tidak berlanjut dan tidak mencapai hasilnya yang maksimal. Supper, yang terus bekerja di Batavia sejak kedatangannya, menderita penyakit yang sama seperti yang dialami Trowt, ia meninggal pada 1816. Thomas Philips, yang menggantikan Trowt di Semarang, juga meninggal dini setelah mengalami penderitaan fisik dan mental. Nampaknya, kondisi kehidupan di negara tropis dan lingkungan sosial menghasilkan sebuah penghalang besar, yang pada akhirnya menghabiskan stamina fisik dan mental mereka. Minimnya fasilitas kesehatan, situasi politik yang tidak menentu, dan sedikitnya gaji yang diberikan oleh badan misi, tidak cukup untuk membuat mereka memiliki peluang mendapatkan perawatan kesehatan yang memadai. Kebanyakan dari mereka terserang demam, malaria, tifus, dan disentri.

Pada Mei 1815, J.C. Supper, Gottlob Bruckner, dan J. Kam, dikirim oleh London Missionary Society bekerja sama dengan Netherlands Missionary Society tiba di Nusantara. Mereka bekerja di gereja Indische Kerk, dan karena misionari Baptis memberitakan Injil kepada Pribumi, maka mereka pun ikut membuka diri memberitakan Injil kepada Pribumi. Joseph Kam ke Maluku, Gottlob Bruckner ke Semarang, dan Johann.C. Supper di Batavia. Berbeda dengan teman mereka dari misi Baptis yang memberitakan Injil kepada penduduk asli, mereka bekerja di bawah gereja pemerintah Inggris/Belanda. Hal yang sangat menarik terjadi pada Gottlob Bruckner. Ketika tiba di Semarang ia merasa jemaat yang dilayaninya lesu tak bergairah. Ketika didiskusikannya dengan Robinson dan Twort, mereka sampai kepada kesim- pulan, anggota jemaat yang tidak lahir baru karena doktrin yang salah. Dan setelah banyak diskusi ia menyadari bahwa baptisan bayi sesungguhnya adalah penyebab anggota jemaat tidak lahir baru. Dan kesalahan yang berpa- sangan dengan baptisan bayi ialah baptisan percik. Pada tanggal 7 April 1816, Bruck- ner meminta Thomas Twort membap- tiskannya dengan baptisan alkitabiah yaitu selam setelah ia membuat penga- kuan iman. Tentu satu minggu kemu- dian Bruckner dipecat gerejanya, dan suport dananya dihentikan. Akhirnya ia terpaksa harus menumpang makan di rumahTwort. Teman-teman misi Baptis kemudi- an harus pontang-panting mencarikan suport dana bagi Bruckner.

Buku Mission at the Crossroads
Bbab: The Spreading of Christianity in Java and Its Encounter with Islam in the 19th Century
Penulis: Th. Sumartana
Penerbit: PT. BPK Gunung Mulia, Jakarta 1994

Tinggalkan komentar